Menguak Kerentanan TKI Hong Kong: “Dari Tidur di Lantai, Makan Siang Mie Instan, Sampai Gangguan Ginjal” – Oleh Aniek Sulist, BEBESEA Story Fellow
Posted on July 21, 2022
Category: Article

Bagian I: Nama Saya Aniek

Caption: Aniek Sulist asal Jawa Timur bekerja di Hong Kong sejak 2009. Sejak 2014, Aniek rutin mengikuti kegiatan donor darah di Red Cross (Pic by Aniek Sulist)

Setiap apa yang menjadi pilihan tidak semudah yang dibayangkan. Menjadi buruh migran bukan sebuah cita-cita dan tidak pernah terpikirkan ini adalah keinginan. 

Dimulai dari faktor keadaan dan himpitan ekonomi yang membawa saya pada pilihan harus berangkat ke luar negeri sebagai buruh migran untuk mengubah ekonomi yang sudah mengancam keluarga.

Nama saya Aniek, seorang Pekerja Rumah Tangga Migran (PRTM) di Hong Kong.


Saya sudah berkeluarga dengan 4 anak dan suami yang menjadi pekerja serabutan. Saya bekerja di sebuah pabrik manufacturing dengan gaji UMR sesuai wilayah. 

Pada kehamilan yang keempat saya memutuskan untuk berhenti bekerja karena kondisi fisik yang lemah dan sering sakit. Tidak ada gaji dan pemasukan membuat ekonomi keluarga semakin kacau. 

Upah dan penghasilan suami tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan nutrisi dan pendidikan untuk anak-anak.

Saya tidak bisa menolak…

Bulan Juni 2009 saya masuk PT Bina Mandiri di Malang, 3 bulan di PT BM saya mendapatkan job dari agen New Star Co yang berada di Hong Kong. Pihak PT memberikan lembaran kontrak kerja yang harus saya tanda tangani tertera job menjaga bayi dengan gaji standar. Namun setelah tiba di Hong Kong saya digaji underpay (di bawah standar) dengan alasan saya belum berpengalaman. 

Saya tidak bisa menolak karena saya sudah terlanjur berada di Hong Kong dan pada waktu itu masih sangat tidak mengerti dengan keterbatasan bahasa terpaksa menerima tawaran gaji itu.


Tahun 2009 bulan September adalah awal saya bekerja sebagai buruh migran di Hong Kong. Bekerja pada majikan pertama mendapatkan job menjaga bayi dengan upah di bawah standar. Saya mendapatkan HK$2200 yang pada saat itu standar gaji adalah sebesar HK$3520. Itu pun masih dipotong oleh agen selama 7 kali, maka selama tujuh bulan saya hanya menerima sisa sebesar HK$400.

Ketika kontrak pertama saya selesai, saya masih melanjutkan di kontrak kedua dengan gaji masih dibawah standar. Saya hanya menerima gaji sebesar HK$3200, dibanding standar gaji HK$3680. Majikan beralasan saya belum cakap berbahasa Cantonese. 

Saya menerima kembali gaji di bawah standar karena majikan juga mengancam dan menakut-nakuti saya. Dia bilang bahwa di luar sana tidak ada majikan yang mau menerima saya dengan keterbatasan bahasa dan mengancam saya akan dipulangkan ke Indonesia. 

Hanya mie Instan untuk makan siang…

Selain permasalahan gaji underpay, kondisi kerja yang saya hadapi dari awal sudah memperlihatkan adanya pelanggaran. Selain upah yang saya terima jauh dari yang tertulis di kontrak kerja, jam kerja saya panjang, hak libur saya dirampas, hak komunikasi dengan keluarga juga dibatasi, dan akomodasi yang kurang memadai.

Permasalahan yang berat terjadi ketika saya mendapatkan akomodasi yang tidak layak. Saya juga mengalami kurangnya jatah makan. Setiap hari saya hanya diberi sarapan 2 lembar roti tawar, mie instan untuk makan siang, dan semangkuk kecil nasi dan lauknya. 

Kondisi lain yang kurang baik adalah tidur di lantai ruang tempat menyimpan barang dagangan majikan (gudang) selama 4 tahun. Tidur di lantai membuat kondisi tubuh saya semakin kurus dan mengalami masalah kesehatan. Saya sering sakit mulai dari batuk, masuk angin, dan sakit pada tulang karena tidur hanya beralaskan kain selimut musim dingin.

Berat badan turun sampai 34 kilogram…

Selama kontrak pertama, saya tidak diberi libur sama sekali sehingga tidak ada waktu untuk keluar rumah membeli kebutuhan pribadi. Saya pun hanya bisa mengirim uang ke Indonesia dibantu majikan setiap 3 bulan sekali. Di kontrak kedua hanya dapat libur 2 kali dalam 1 bulan. 

Jam kerja saya begitu panjang dan nyaris tidak bisa istirahat. Tidur jam 11 malam kadang juga jam 12 malam, terbangun di tengah malam sekitar jam 2-3 dini hari untuk mengganti popok bayi dan menyusuinya. Tidur lagi jam 5 lalu bangun jam 8 pagi. 

Kondisi yang paling parah ketika saya batuk dan mengalami sesak nafas sampai di bawa ke dokter. Dokter memberi surat rujukan untuk segera membawa saya ke rumah sakit dan melakukan X-Ray. Namun surat itu diabaikan majikan dan saya hanya disarankan majikan untuk minum obat yang dari dokter. 

Penyembuhan hanya bersifat sementara saja yang pada akhirnya sakit itu sering kambuh. Dampak lain dari seringnya minum obat adalah saya sering ngantuk dan akhirnya lemas seperti tidak bertenaga. Berat badan semakin turun hingga 34 kilogram, sudah tidak kuat lagi menggendong anak asuh.

Gangguan tulang belakang masih terasa…

Selama kontrak kedua, saya mengadu kepada majikan karena sering sakit dan ada gangguan tulang. Saat itulah majikan memberikan kasur lipat (sofa bed) untuk saya tidur. 

Meskipun sudah lebih baik, posisi tidur tetap tidak nyaman karena tempat tidur agak melengkung dan tidak bisa datar. Gangguan pada tulang belakang kadang-kadang masih kambuh saya rasakan.

Saya hanya berani mengadu ke majikan pada kontrak kedua, karena di kontrak pertama saya belum bisa berbahasa Cantonese dengan baik dan sulit untuk berkomunikasi dengan majikan. 

Rasa takut yang berlebihan membuat saya tidak mau membuat majikan marah. Lalu di kontrak kedua saya berusaha untuk berbicara dan menggunakan kemampuan bahasa saya sebisa mungkin. 

Saya harus berani menyampaikan ke majikan kalau saya sedang sakit. Karena saya pikir ini tidak bisa dibiarkan dan bisa membahayakan keselamatan jiwa saya. 

Mengapa itu kasus akomodasi yang tidak layak sangatlah perlu untuk diangkat dengan harapan ada perhatian dari pemerintah setempat membuat standar kelayakan.

Bertahan meski batuk dan sesak nafas…

Kontrak saya selesaikan dengan baik dengan kondisi yang tidak separah sebelumnya. Bekerja selama 6 tahun di majikan yang sama memberikan saya sedikit pengalaman dalam berbahasa sampai akhirnya saya mengakhiri bekerja di majikan ini setelah tahun ke-6.

Pindah majikan di kontrak ke-empat dengan job menjaga anak usia 4 tahun dan 2 ekor kucing. Di majikan ini saya mengalami sensitif alergi bulu kucing dan sering periksa ke dokter. Kondisi yang sangat menyiksa batuk dan sesak nafas. 

Tapi saya tidak mau memutuskan kontrak karena saya tidak mau mempunyai catatan buruk terhadap pengalaman kerja saya. Kalau saya memutuskan kontrak, ketika saya mencari majikan baru saya akan mendapatkan potongan gaji. Mencari majikan baru juga tidak mudah. 

Sering dikira berbohong… 

Saya tahu hal ini dari organisasi dan pengalaman menangani kasus terminate. Setiap memutuskan kontrak kerja selalu disertakan dengan alasan yang tepat agar pihak Imigrasi bisa menerima dan PRTM berharap bisa mendapatkan kembali visa baru. 

Jika alasan tidak masuk akal maka akan dianggap mengada-ada dan berbohong. Apapun alasannya baik terminate maupun finish pihak Imigrasi selalu mencatat jejak rekam setiap PRTM yang bekerja di Hong Kong sebagai catatan kelakuan baik/buruk.

Dan bagi agen yang nakal, kesempatan terminate ini selalu diambil untuk mendapatkan uang dari potongan gaji (overcharging). Setiap PRTM yang memutuskan kontrak maka akan dikenakan biaya pada saat mencari pengganti majikan baru. 

Biaya potongan setiap agen bervariasi dan tidak sama. Dan hal ini sudah menjadi dampak dari pemutusan kontrak secara prematur. Akhirnya, saya memutuskan untuk bertahan sampai finish kontrak. 

Bagian II: Teman saya alami gangguan ginjal dan vertigo, ancaman deportasi

A group of people holding signsDescription automatically generated
Caption: Aniek mengisi sosialisasi tentang penahanan dokumen PMI di Hong Kong (Pic by Aniek Sulist)

Hal serupa juga terjadi pada salah satu kasus yang saya tangani, yakni teman berinisial “K” 34 tahun asal Semarang. Sudah bekerja di majikan pertama selama 8 tahun, setelah itu dia pindah majikan kedua dengan job menjaga nenek. 

Dia bekerja di majikan ini sudah 9 bulan dan mengalami kondisi kerja yang kurang beruntung. Nenek menyuruhnya membeli makan sendiri bahkan air minum juga harus beli sendiri, melarang dia mencuci baju hingga terpaksa harus ke laundry. 

K juga punya jam kerja yang panjang dan kalau mau tidur hanya beralaskan tikar. Sampai-sampa K mengalami krisis kesehatan, mulai dari gangguan ginjal akibat kurang minum air hingga vertigo dari kurang tidur. 

Saya menyarankan K untuk berkomunikasi yang baik dengan majikan (anak nenek) yang menandatangani kontrak kerjanya. Akhirnya, K selalu bercerita ke majikan perihal apapun yang terjadi terkait perilaku nenek. Dan ketika itu majikan dia selalu merespon apa yang menjadi keluhan PRTM-nya. 

Majikan juga tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap PRTM-nya sebab majikan sudah sangat paham kondisi nenek. Akan tetapi perlakuan nenek yang tinggal terpisah dengan anaknya membuat majikan kesulitan untuk melakukan pembelaan terhadap PRTM-nya. 

K akhirnya mundur…

K bertahan bekerja dengan kondisi seperti ini sampai 1 tahun 4 bulan. Dari awal dia bekerja sudah banyak keluhan atas perilaku nenek, akan tetapi dia tetap bertahan. Karena untuk segera memutuskan kontrak sangatlah sulit dan butuh bukti atau alasan yang kuat sebagai syarat untuk mengajukan pemutusan kontrak kerja. 

Dia juga sudah berusaha sabar menghadapi nenek dengan harapan mungkin saja nenek bisa berubah menjadi lebih baik. Tetapi setelah bersabar dan lama menunggu ternyata nenek tidak juga berubah hingga akhirnya PRTM memberikan surat pengunduran diri dengan one month notice

Dengan menyertakan semua bukti-bukti yang dimiliki PRTM mengajukan notice ke majikan dan majikan tidak bisa lagi menolak pengajuan surat pemutusan kontrak kerja dari dia.

Ancaman deportasi…

Namun keputusan itu bisa berbuntut deportasi. Satu saja alasan yang kurang tepat maka imigrasi tidak akan memberikan visa baru dan mengharuskan PRTM meninggalkan Hong Kong. 

Saya ingin mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintahan Hong Kong terkait surat penolakan visa dari Imigrasi terhadap PRTM dengan skala besar. Dampak dari surat penolakan visa ini maka PRTM harus pulang ke negara asal dengan status deportasi. 

Teman saya bisa saja dianggap “job hopping” yaitu tuduhan yang diberikan imigrasi untuk pekerja migran yang sering gonta-ganti majikan dan dianggap tidak niat bekerja. 

Memang ada sedikit yang hanya karena masalah sepele saja atau tergiur gaji tinggi lalu mereka memutuskan berpindah majikan. Tapi itu tidak banyak dibandingkan dengan masalah yang timbul karena kondisi kerja. 

PRTM tidak tahan… 

Kebanyakan PRTM mengakhiri kontraknya karena adanya permasalahan yang timbul di lingkungan rumah majikan. Membuat mereka sudah tidak bisa lagi bertahan. 

Saya tidak menginginkan teman saya terkena tuduhan job hopping. Maka saya menyarankan kepada dia untuk menjalin komunikasi yang baik dengan majikan. 

Dia pun meminta majikan untuk memberikan surat rekomendasi catatan baik sebagai bukti terlampir permohonan pengajuan visa baru ke Imigrasi. Upaya terbaik yang dilakukan memberikan hasil, akhirnya visa diturunkan.

Kasus di atas adalah salah satu contoh dari akomodasi yang dampaknya sangat kompleks. Dari pelanggaran kontrak kerja, krisis kesehatan, pemutusan kontrak kerja hingga ancaman job hopping, dan deportasi.

Bagian III: Teman Saya Dipaksa Bekerja di Dua Rumah 

Caption: Pekerja Migrqan Indonesia mengalami lebih banyak tekanan selama COVID-19. Namun Aniek masih menyempatkan aktif sebagai salah satu tim tanggap darurat Omicron Covid-19 (pic by Aniek Sulist) 

Kasus ketiga adalah PRTM berinisial “H” berasal dari Cilacap Jawa Tengah sudah bekerja di Hong Kong selama 3 tahun, mengalami hal yang sama terkait akomodasi atau fasilitas yang tidak sesuai dengan yang tertera di kontrak kerja. 

Dia bekerja pada majikan dengan menjaga 5 orang dewasa dan 1 anak berusia 9 tahun. Dipekerjakan di 2 rumah dengan alamat yang berbeda dan ini sudah jelas melanggar peraturan perjanjian standar kontrak kerja. 

Dengan dalih rumah majikan sempit dan tidak ada tempat tidur maka “H” disuruh tidur di rumah yang berbeda alamat dengan yang tertera di kontrak kerja. Dengan demikian mau tidak mau “H” diharuskan bekerja di 2 rumah alamat yang berbeda. 

Peraturan Hong Kong sebetulnya melarang… 

Undang-undang Hong Kong melarang PRTM bekerja di alamat yang tidak sesuai dengan yang tercantum di lembar kontrak kerja. Dan jika pelanggaran ini sengaja dilakukan maka kedua belah pihak bisa dijerat hukum sanksi denda sebesar HK$ 50.000 dan atau penjara. 

Jika tidak ada tuntutan dari PRTM soal pelanggaran ini dan jika diketahui oleh pihak Imigrasi maka kedua pihak dianggap telah menyepakati pelanggaran kontrak kerja.

H semakin diperlakukan tidak adil, pekerjaan yang sangat capek dan menyita waktu, jelas dia akan mengalami jam kerja yang panjang. Kondisi ini membuat dia mengambil keputusan untuk mengakhiri kontraknya. 

Keputusan ini tidak mudah, dia harus memikirkan kembali konsekuensi yang harus dihadapi setelahnya yaitu label job hopping dan kemungkinan permohonan visanya ditolak pihak Imigrasi. 

Menghadapi hal ini, langkah yang harus diambil harus benar-benar bijak dan cermat agar dia tidak terancam deportasi. 

Masalah Akomodasi 

Di dalam kontrak kerja ada klausa bahwa “ majikan harus memberi pembantu akomodasi yang sesuai dan privasi yang wajar”. Namun Pemerintah Hong Kong tidak menetapkan standar tertulis yang mengatur apa itu “akomodasi yang sesuai dan privasi yang wajar”.

Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh majikan maka tidak ada yang bisa menuntut. Hakekatnya peraturan standar yang menetapkan tentang akomodasi tertera di kontrak kerja FDH Hong Kong di halaman 3 menjelaskan bahwa setiap PRTM mendapatkan fasilitas akomodasi (kamar, toilet, tempat tidur, selimut, almari, kulkas).

 Namun meskipun sudah tertulis tidak ada jaminan fasilitas tersebut bisa keseluruhannya diberikan majikan untuk PRTM. 

Ini tidak sesuai dengan perjanjian kerja…

Ada point tertentu di kontrak kerja yang mereka tidak memberikan seperti contoh pemakaian meja kerja dan pemakaian kulkas banyak majikan yang tidak bisa memberi. 

Standar fasilitas yang ada tidak bisa membantu PRTM untuk mendapatkan sesuai dengan ketetapan peraturan yang tercantum di kontrak kerja yang sudah dibuat oleh pemerintah Hong Kong sendiri. 

Jika suatu perjanjian yang sudah disepakati diatas bukti kertas yang bertanda tangan maka setidaknya jika ada pelanggaran hal ini bisa dilaporkan dan dituntut. Kenyataannya masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tapi sulit untuk menuntut.

Majikan tidak mampu memberikan tempat layak… 

Banyak pekerja migran dipaksa untuk menghadapi kenyataan yang buruk di dalam lingkungan rumah majikan yang mewajibkan semua PRTM harus “live in”, atau tinggal di rumah majikan. Perilaku yang tidak manusiawi dari majikan kerap terjadi dan hal ini sulit untuk dihindari.

Sangat sulit jika membahas tentang kesejahteraan PRTM di rumah majikan karena dampak dari “live in” ini rentan akan perilaku kekerasan dan diskriminasi.

Dihadapkan dari kenyataan yang ada bahwa sebagian tempat tinggal warga lokal sangat sempit, unit tempat tinggal sebagian besar terbatas dalam ruangan. 

PRT migran disuruh tidur di sofa, almari, bahkan toilet… 

Menyediakan akomodasi yang sesuai dengan privasi yang wajar untuk PRTM, seperti yang disyaratkan dalam kontrak standar bisa menjadi tantangan bagi banyak rumah tangga majikan. 

Namun dengan kebijakan wajib tinggal “live in”, baik majikan maupun PRTM dipaksa untuk melakukan perlakuan di bawah standar tidak manusiawi terhadap pekerja. Seperti menyuruh PRTM tidur di sofa, di atas almari, dapur, gudang, bahkan di toilet dan nyaris tidak ada ruang privasi. 

Dan ini juga berdampak pada masalah keamanan dan keselamatan. Jika opsi “live out” (tinggal di rumah berbeda) diperbolehkan, yang dimaksud adalah memberikan kesempatan PRTM untuk tidak tinggal bersama di rumah majikan. 

Maka kesempatannya sangat kecil majikan memperlakukan dan memanfaatkan PRTM bekerja di jam kerja yang panjang dan penuh waktu, dan bisa terhindar dari perilaku pemberian akomodasi yang tidak layak.

Pilihan untuk live out sangat penting… 

Mengangkat argumen yang bersumber dari AMCB (Asian Migrants Coordinating Body), pengaturan live out sangat penting. Hal ini untuk memberikan ruang bagi PRTM beristirahat dari pekerjaan sepanjang hari, tanpa terganggu oleh pihak keluarga majikan memanggil sesuka hati untuk melayani mereka di rumahnya. 

Terpenting lagi menghindari kondisi rentan PRTM terhadap potensi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual jika PRTM tinggal dengan majikan. Pengaturan opsional ini memberikan kebebasan privasi kedua pihak, memiliki waktu luang untuk kepentingan privasi. Ini penting untuk mental dan kesejahteraan para pekerja. (Sumber: AMCB)

PRT migran hanya ingin majikan patuh hukum

Dengan demikian upaya untuk memperbaiki kesejahteraan masih bisa dilakukan dengan cara berkomunikasi yang baik antara majikan dan PRTM untuk memberikan kebebasan privasi masing-masing sesuai kebutuhan yang tidak saling merugikan. 

PRTM tidak menuntut berlebihan ketika majikan bisa mematuhi hukum dan peraturan yang sudah ditetapkan maka hal yang terjadi akan lebih baik untuk sama-sama mengangkat kesejahteraan.


Salah satu kasus yang akan saya angkat adalah akomodasi yang tidak layak. Kasus yang sering ditemui hasil dari konseling yang berdampak kepada pelanggaran kontrak kerja, diskriminasi, pelecehan seksual, job hopping (tuduhan sering berganti-ganti majikan) hingga ancaman deportasi.

Bagian IV: Masalah di Hong Kong dari kacamata saya

Caption: Aniek mengikuti aksi di depan KJRI Hong Kong menuntut keadilan bagi PMI di sana (Pic by Aniek Sulist)

Hong Kong adalah salah satu kota tujuan favorit pekerja migran Indonesia. Kota ini tergolong disiplin dan patuh hukum tanpa memandang status sosial. Siapapun yang melanggar hukum maka akan dikenakan sanksi. 

Peraturan bagi PRTM juga sudah diatur di dalam kontrak kerja yang mencantumkan hak dan kewajiban majikan dan pekerja. Hal tersebut mencakup identitas pekerja dan majikan, jumlah gaji, tunjangan makanan, libur dan cuti, tunjangan sakit, dan pengaturan akomodasi. Akan tetapi, dalam praktek masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Hong Kong yang berubah…


Komposisi industri ekonomi Hong Kong mengalami perubahan yang sangat cepat selama tiga dekade terakhir ini. Sebelumnya pertumbuhannya bersandar pada sektor manufaktur tapi kemudian bergeser ke sektor keuangan, perdagangan dan jasa. 

Sejak tahun 1970-an, ekonomi Hong Kong berkembang pesat yang menuntut penyediaan tenaga kerja lebih banyak lagi. Untuk menjawab persoalan ini, maka pemerintah membuat kebijakan untuk mendatangkan tenaga kerja dari Tiongkok daratan yang diupah murah. 

Ketika itu, masih ada kebijakan “sentuh basis” dimana setiap penduduk Tiongkok daratan dapat bebas masuk ke Hong Kong untuk mencari keluarganya dan menetap tanpa harus memiliki visa tinggal dan kerja. 

Akan tetapi, sistem tersebut dibatalkan…

Pada akhirnya, penduduk Tiongkok dilarang masuk ke Hong Kong jika tidak memiliki visa tinggal dan kerja. Selanjutnya, pemerintah mendorong penduduk lokal, khususnya perempuan, untuk terjun ke dalam dunia kerja sebagai cara meningkatkan jumlah pekerja yang masih sangat terbatas. 

Setelah perempuan turut bekerja, penghasilan di setiap keluarga meningkat dua kali lipat. Dari jumlah angkatan kerja dari tahun 1997 – 2018 sebesar 567.000 orang,  91% (515.000 orang) adalah perempuan dan 9% (52.000 orang) adalah laki-laki. Jumlah perempuan pekerja lokal naik dari 36,9% pada 1997 menjadi 45,2% pada 2018. 

Jika perempuan yang mengurus rumah tangga akhirnya bekerja…

Lalu siapa yang harus mengurus anak-anak dan jompo? 

Ringkasan Penelitian Komite Legislatif menyatakan bahwa PRTM dibutuhkan untuk merawat keluarga sehingga perempuan tetap bisa bekerja. 

Berdasarkan data sensus dan statistik tahun 2013, sebanyak 78% perempuan yang menikah dan memiliki anak dengan menggunakan jasa PRTM dapat bekerja dan meningkatkan penghasilan, dibanding mereka yang tidak.

PRTM mulai tiba di Hong Kong sejak 1970-an tetapi jumlahnya semakin bertambah besar sejak 1980an. Pada tahun 2021 jumlah tersebut mencapai 340.000 orang, 15 kali lebih besar sejak 1982 dan menyumbang sekitar 9-10% dari angkatan kerja di Hong Kong. (Sumber: Departemen Sensus dan Statistic & Departemen Imigrasi)

Hong Kong membutuhkan PRT Migran…

Hong Kong semakin tergantung pada keberadaan PRTM untuk mengurus rumah tangga masyarakat setempat. Majikan dan pekerja saling bekerja sama tujuan untuk memperbaiki ekonomi demi mencapai kesejahteraan kedua belah pihak.

Menindaklanjuti tujuan bermigrasi bagi PRTM, yang pada awalnya untuk kesejahteraan, namun hal ini justru memunculkan permasalah baru yang dihadapi di negara penempatan. Banyak migran yang dihadapkan pada masalah dan peraturan yang berlaku di negara penempatan khususnya Hong Kong. 

Sektor pekerja rumah tangga menjadi salah satu permasalahan yang sangat signifikan. Buruh migran yang mayoritas kaum perempuan dihadapkan pada masalah yang membawa dampak sangat sulit mulai dari eksploitasi, diskriminasi, pelecehan seksual, dan bahkan human trafficking. 

Sebetulnya Hong Kong mengatur syarat majikan…

Pemerintah Hong Kong mempunyai standar dan syarat sebagai prosedur yang harus dipenuhi oleh majikan untuk mengambil PRTM. Selain status kewarganegaraan, salah satu syarat memastikan kemampuan finansial yang cukup untuk mempekerjakan PRTM. 

Pedoman yang diambil di masa lalu mengharuskan majikan mampu menunjukkan bukti pendapatan dan kemampuan finansial bahwa pendapatan majikan tidak boleh kurang dari 4 kali gaji FDH. 

Majikan yang mengajukan melamar PRTM diharuskan menyerahkan tagihan pajak dan bukti gaji pembayaran otomatis untuk membuktikan bahwa gaji tahunan diatas HK$ 176.500, atau gaji bulanan diatas HK$ 14.700, atau gaji reguler bank dalam tiga bulan terakhir setoran melebihi HK$ 176.500. (Sumber dari: Oriental Daily 12 Aug 2002)

Standarnya diperketat, tapi aturannya tidak jelas… 

Sejak dari 25 Februari 2003 ada revisi majikan harus memiliki pendapatan tidak kurang dari HK$15.000 per bulan atau 4,6 kali dari upah minimum PRT migran (di Hong Kong disebut Foreign Domestic Worker, FDW). (Sumber: Annex B, Scheme for importation of FDHs). 

Sejak 10 April 2009 secara umum, untuk setiap PRTM yang dipekerjakan pendapatan rumah tangga majikan harus tidak kurang dari HK$ 15.000 per bulan atau memiliki aset dalam jumlah yang sama.

Dan sekarang upah minimum FDH sebesar HK$ 4630, jika dikalikan dengan 4,6 maka akan ada revisi pendapatan majikan sebesar HK$ 21.298. Akan tetapi kemampuan finansial majikan hingga sekarang belum direvisi sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan PRTM.

Tidak jelas mengapa Alternatif “4,6 kali dari upah minimum yang diperbolehkan direvisi” dikecualikan dalam kriteria kelayakan saat ini.

Standarnya masih begitu-begitu saja…

Seiring berjalannya waktu standar peraturan sebagai syarat mengambil PRTM tersebut hingga sekarang masih sama dan tidak ada perubahan. Mengapa itu standar peraturan ini seharusnya diubah sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku untuk saat ini. 

Jumlah standar yang masih diberlakukan saat ini sangatlah murah dan bukan menjadi hal syarat yang berat untuk seorang majikan mengambil PRTM. 

Warga yang berpendapatan kurang dan pas-pasan pun dengan penghasilan rendah per bulan akan mampu dan mudah mengambil FDH untuk dipekerjakan di rumahnya. 

Majikan tidak layak PRT migran, tapi dapat…

Dari keterbatasan keuangan beberapa majikan maka dengan mudah juga majikan akan melalaikan kewajibannya dan pada akhirnya akan seenaknya memberikan akomodasi yang tidak layak. 

Jika kelalaian ini sudah terjadi di lingkungan rumah majikan maka pemerintahan tidak akan bisa mengetahui Jika suatu pelanggaran sedang terjadi dan pelanggaran-pelanggaran ini akan selalu ditutup-tutupi. 

Masalah ini perlu diangkat bahwa peraturan yang sudah menjadi standar kontrak kerja harus dipertimbangkan lagi untuk diperbarui setara dengan kondisi perekonomian saat ini.

Hong Kong seharusnya lebih bijak…

Pemerintah Hong Kong harus lebih bijak memperhatikan setiap peraturan yang sudah ditetapkan dan ditindaklanjuti untuk dijadikan acuan perubahan yang lebih baik sebagai service dan penghargaan di kalangan PRTM.

Jika standar menjadi majikan sudah dinaikkan mengikuti standar perekonomian saat ini, maka kesejahteraan hidup PRTM di rumah majikan akan lebih baik. Meskipun tetap saja kekerasan dan diskriminasi masih sering terjadi dan tak bisa dihindari.

Bagian V: Refleksi saya mendampingi pekerja migran

Caption: Dalam mendampingi teman pekerja migran, Aniek belajar banyak mengenai sistem ketenagakerjaan di HK. Dalam foto di atas, Aniek mengikuti forum diskusi pembekalan Ormas bagi PMI bersama KJRI HK (Pic by Aniek Sulist)

Jika bisa menguak setiap kasus yang terjadi, maka permasalahan tidak akan pernah berhenti. Sebenarnya langkah apa yang harus diambil untuk memberikan keadilan terhadap PRTM?

Pada kesempatan yang akan datang saya akan menjelaskan lebih banyak lagi cerita terkait permasalahan buruh migran. Ada banyak hal yang perlu dikupas untuk mendapatkan tujuan baik masalah kesejahteraan buruh migran.

Dampak dari permasalahan yang ditanggung oleh buruh migran selalu berawal dari sejarah bagaimana kondisi sebelumnya yang berada di negeri sendiri. 

Gagalnya pemerintahan Indonesia memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Karena kondisi inilah menuntut rakyat untuk mencari kesejahteraan sendiri. 

Oh Indonesia….

Sejak tahun 1980-an, migrasi tenaga kerja keluar negeri telah menjadi bagian dari program pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan  pengangguran. Migrasi tenaga kerja juga menambah pemasukan negara dan memaksimalkan remitansi untuk menjalankan roda ekonomi khususnya di pedesaan. 

Sumber daya alam melimpah dan jumlah rakyat yang mencapai 273 juta (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Tahun 2021),  harusnya menjadi modal bagi Indonesia bagi pembangunan ekonomi yang baik dan industri modern sendiri. Namun kenyataannya, bangsa ini semakin terpuruk akibat ikatan penjajahan gaya baru melalui sistem globalisasi yang neo-liberal. 

Tidak meratanya pembangunan, ditambah kesulitan ekonomi, memaksa jutaan orang untuk mencari sumber penghidupannya sendiri dengan bermigrasi keluar negeri. Menurut Bank Dunia, jumlah pekerja migran sebesar 9 juta orang pada tahun 2017. 

Tidak berhenti di sini, setelah bermigrasi pun selalu muncul permasalahan yang dianggap tidak mudah. Perlakuan tidak adil di negara penempatan menjadi konsekuensi yang harus dihadapi oleh buruh migran/PRTM. 

Berbagai perlakuan buruk kami alami… 

Perlakuan yang tidak manusiawi, diskriminasi bahkan kekerasan fisik maupun seksual kerap terjadi. PRTM juga menjadi sasaran empuk setiap peraturan negara penempatan yang berlaku. 

Kasus-kasus yang dihadapi sangatlah beragam dan selalu menjadi pembahasan organisasi/serikat pekerja bagaimana agar ada jalan baik atau solusi demi mencari kesejahteraan bagi kehidupan buruh migran. 

Tuntutan-tuntutan yang diberikan kepada pemerintah baik Hong Kong atau Indonesia selalu dilakukan melalui jaringan-jaringan atau lembaga-lembaga perlindungan buruh migran. 

Keberadaan Konsulat Jenderal Indonesia yang dianggap sebagai rumah kedua buruh migran kerap tidak bisa merespon lebih cepat ketika banyak kasus atau permasalahan yang dihadapi PRTM. Justru sering kali permasalahan ini dikembalikan lagi ke agen sebagai tempat menyelesaikan masalah. 

Agen justru mempersulit… 

Jika sudah demikian maka permasalahan yang baru akan terjadi. Banyak agen yang mempersulit bahkan solusi yang diberikan tidak membawa kepada kondisi lebih baik. 

Contoh kasus sudah saya tulis diatas menjelaskan bahwa itulah dampak di mana peran agen tidak bisa membantu. Kasus yang saya hadapi sendiri semua saya yang menyelesaikan.

Pelayanan agen tidak bisa diandalkan dan tidak menjamin PRTM untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setiap keputusan yang diambil akan membawa dampak yang pada akhirnya PRTM sendiri yang menghadapi konseksuensinya. 

Maka saya berpikir bahwa masalah-masalah yang saya hadapi harus saya selesaikan sendiri tanpa harus melibatkan agen. Hingga kepada permasalah kesehatan yang tidak bisa dibiarkan dampak dari akomodasi yang tidak layak. 

Keputusan untuk berpindah majikan pun bukan suatu hal yang mudah. Maka setiap tindakan yang diambil harus ada bukti kuat sebagai pembelaan untuk mendapatkan visa kerja kembali. 

Bagian VI: Pengalaman Saya Menuliskan Kisah Migran di Hong Kong

A picture containing text, person, person, computerDescription automatically generated
Caption: Aniek terpilih menjadi salah satu penerima BEBESEA Story Fellowship pada 2021. Dalam foto ini, Aniek terlihat menyelesaikan pembuatan artikel ini bersama Fifi dari Auto 8. (Pic by Aniek Sulist)

Artikel yang saya tuliskan ini adalah pengalaman pertama saya dalam menulis dalam mengangkat permasalahan buruh migran di Hong Kong dan benar-benar permasalahan nyata dan terjadi. 

Banyak kendala yang saya alami ketika menuliskan ini. Di antaranya adalah kondisi kerja dan masa pandemi yang memaksa saya untuk bisa membagi waktu antara pekerjaan dan majikan yang ikut anjuran bekerja di rumah. Kondisi ini menyulitkan saya untuk mencari ruang gerak dan waktu dalam menyelesaikan artikel ini. 

Kemungkinan kecil untuk mengerjakan tugas di sela kesibukan di rumah majikan yang sangat padat yang nyaris tidak ada waktu luang untuk mengerjakan kecuali malam hari setelah selesai pekerjaan. Pun demikian di malam hari juga sedikit sekali waktu untuk mengerjakan karena didera rasa lelah setelah sehari penuh bekerja. 

Hanya hari Minggu saya bisa meluangkan waktu untuk mengerjakan tugas ini. Namun terbentur juga dengan tugas-tugas saya sebagai paralegal dan tim relawan di sebuah Aliansi untuk penanganan bantuan Omicron. Dampak terbesar dari Omicron inilah yang benar-benar menyita waktu, pikiran dan tenaga. 

Saya dibantu banyak teman… 

Akan tetapi di antara kesulitan yang saya hadapi masih ada rekan yang sanggup membantu untuk memberikan saran dan koreksi serta melengkapi apa yang harus saya jelaskan. 

Melibatkan banyak pihak di sekitar mulai dari organisasi saya WMI (Women’s Movement Independent), teman organisasi PILAR (Persatuan BMI Hong Kong Tolak Overcharging) & JBMI (Jaringan Buruh Migran Indonesia), konseling dan rekan migrant solidarity committee of autonomous 8a. Mereka sangat membantu dan mampu memberikan waktu serta support yang sangat baik.

Saya berharap orang tahu kondisi sebenarnya… 

Harapan terbesar bahwa artikel yang saya buat mampu mengabarkan kondisi sebenar-benarnya buruh migran. Semoga juga bisa memberikan pandangan atau solusi terbaik terhadap pemerintah Hong Kong untuk memperbaiki akomodasi khususnya untuk buruh migran.

Dari apa yang sudah saya tuliskan ini masih banyak yang akan saya sampaikan terkait persoalan buruh migran yang berkepanjangan. Saya berharap pada kesempatan selanjutnya saya bisa menuliskan kembali isu-isu atau kasus-kasus yang dihadapkan kepada buruh migran. 

Namun untuk sementara ini saya cukup menuliskan permasalahan akomodasi yang tidak layak dan dampak lain dari masalah itu. Inilah yang bisa saya sampaikan “Menguak kerentanan Pekerja Migran di Hong Kong” dampak dari akomodasi yang tidak layak.***

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published.

Latest Articles

Where is Home?

Where is Home?

A young boy’s life drastically changed after the pandemic followed by the coup in Myanmar. This work of fiction is based on reports from different media agencies as well as interviews with people from A Nyar. Trigger warning: death, war, bombs, suffering of...